Wonogiri, Stigma – Jauh dari carut marut dan gejolak negeri soal pandemi, di salah satu lereng Gunung Lawu, tepatnya di Dusun Gomerto, Desa Watangsono, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah terdapat pria setengah baya yang tetap konsisten dengan profesi serta prinsip hidupnya untuk keluarga.
Saimin, pria yang lahir 58 tahun silam ini seharusnya menjadi sosok inspiratif bagi kaum milenial yang sebagian besar saat ini dilanda kegalauan akibat terdampak keterpurukan ekonomi global saat ini.
Bukan tanpa alasan, bapak dari dua anak dan delapan orang cucu seolah tidak terpengaruh dengan kondisi sekarang. Ia tetap konsisten dengan pekerjaan yang ia tekuni selama ini. Meskipun pekerjaan itu bukan profesi dasar dari dirinya.
Dampak pandemi virus Corona (Covid-19) rupanya juga berpengaruh terhadap ekonomi Saimin bersama keluarganya. Betapa tidak, sebagai buruh bangunan lepas yang sudah ia jalani selama ini seolah mati suri akibat gejolak ekonomi.
Untuk itu, dengan bermodalkan sebidang sawah yang ia garap dari pemiliknya, Saimin menjalani rutinitas sebagai petani tangguh yang bermodalkan semangat menghidupi keluarganya.
Saat pagi seusai menjalankan kewajibannya sebagai Hamba Allah, saat cuaca pagi yang masih gelap, ia rutin berjalan ke area persawahan dengan menyusuri perkebunan hingga menyeberangi sungai yang lumayan terjal untuk menjangkau jengkal pematang sawahnya.
Setiap harinya ia mengerjakan hamparan sawah yang tidak seberapa luasnya dengan harapan dapat menjadi penunjang kehidupan bagi keluarganya.
Namun tak hanya sampai di situ, setelah usai merawat tanaman padi miliknya serta selama menunggu tanamannya berbuah, ia berinisiatif untuk membuat jembatan bambu dengan alat seadanya dari tangan-tangan kekarnya.
Tak ayal, jembatan sederhana buah tetesan keringatnya kini menjadi manfaat untuk orang di sekitarnya. Walaupun tidak ada kesan luar biasa, setidaknya jembatan kecil itu dapat berguna untuk orang lain, terutama bagi yang memiliki akses sama dengan lokasi sawahnya.
Saat matahari beranjak di atas kepala dan menandakan siang segera tiba, Saimin beranjak meninggalkan area persawahan yang menjadi harapannya. Bukan pulang ke rumah untuk istirahat dengan keluarganya, akan tetapi ia langsung menuju Masjid Baitul Faidzin yang saat ini sedang dilakukan pembangunan.
Dengan sisa-sisa tenaganya ia membantu pembangunan masjid itu hingga petang tiba. Hal itu ia lakukan rutin mengisi hari-harinya dengan harapan mendapat ridho dari sang penciptanya.
Bukan materi, bukan pemikiran istimewa yang diberikan Saimin, akan tetapi ketulusan serta keikhlasan pria pendiam ini seharusnya menjadi motivasi bagi kita semua. Karena keberhasilan tidak selalu dinilai dari besarnya atau banyaknya harta yang kita miliki. Akan tetapi seberapa besar pengabdian kita untuk memberikan manfaat bagi keluarga dan orang lain.*(Ren)