JAKARTA – Penetapan Dewan Kota (Dekot) DKI Jakarta untuk periode 2024-2029 baru-baru ini menuai kontroversi, dengan sejumlah pihak menilai prosesnya cacat prosedur dan penuh ketidakberesan. Kritik datang dari berbagai kalangan, mulai dari calon yang tidak terpilih hingga aktivis, praktisi hukum, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bahkan anggota DPRD DKI Jakarta. Semua mengungkapkan kekecewaan dan ketidakpuasan atas pelaksanaan seleksi yang dinilai jauh dari prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.
Salah satu calon Dewan Kota DKI Jakarta, Uci Sanusih, yang mewakili Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, merasa sangat kecewa dengan hasil pemilihan yang dinilainya tidak transparan. Menurutnya, proses pemilihan yang tidak berjalan sesuai jadwal semula dari yang dijadwalkan pada Oktober 2024 menjadi Desember 2024 sehingga menyisakan kecurigaan bahwa ada unsur manipulasi dalam penundaan tersebut.
Oleh karena itu, Uci bersama tim pengacaranya dari YLBH PIJAR mengajukan surat keberatan kepada Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi, atas Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 854 Tahun 2024 tentang Penetapan Anggota Dewan Kota Jakarta Barat masa bakti 2024-2029.
“Saya menganggap proses pemilihan Dekot Jakarta Barat ini sangat tidak transparan. Seharusnya, jika terjadi penundaan dari Oktober ke Desember, ada penjelasan yang jelas. Apa dasar hukum penundaan tersebut? Kenapa hasil seleksi dan nilai-nilai para calon tidak diumumkan secara terbuka?” ujar Andika, S.H., kuasa hukum Uci Sanusih, yang mengungkapkan bahwa pihaknya akan menempuh jalur hukum jika tidak ada tanggapan dari Pemprov DKI Jakarta, Rabu (1/1/2025).
Andika menyebutkan, proses seleksi yang tertutup, terutama terkait nilai seleksi yang tidak diumumkan, semakin memperburuk citra Pemprov DKI Jakarta. Padahal, pejabat publik seharusnya dipilih secara transparan, agar publik bisa menilai dan mempercayai integritas dan kredibilitas mereka.
Ironisnya, lanjut Andika, berdasarkan keputusan gubernur yang diterbitkan, beberapa nama yang lolos dalam seleksi malah terindikasi memiliki catatan buruk dalam tugas sebelumnya, seperti kasus yang melibatkan Panitia Pemilu Kecamatan (PPK) Kalideres pada Pemilu 2024.
Melihat fenomena ini, sejumlah LSM dan praktisi hukum juga angkat suara. Ketua DPD LSM Pemerhati Penegakan Hukum dan Keadilan (PPHK) Provinsi DKI Jakarta, Awy Ezyari, S.E., M.M., mengecam keras kinerja birokrasi Pemprov DKI Jakarta yang menurutnya sudah saatnya diubah total. Awy menegaskan bahwa sistem yang ada saat ini rentan terhadap praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), yang justru memperburuk kualitas pemerintahan di Jakarta.
“Saya sudah mengingatkan berulang kali bahwa Pemprov DKI Jakarta harus segera melakukan reformasi birokrasi menyeluruh. Banyak pejabat yang sudah berkuasa lama, dan minimnya rotasi jabatan membuka peluang bagi praktik-praktik yang merugikan rakyat,” ujar Awy, yang juga mendukung langkah anggota DPRD DKI Jakarta, Ongen Sangaji, yang meminta agar penetapan Dewan Kota periode 2024-2029 dibatalkan karena cacat prosedur.
Awy bahkan menuding bahwa Surat Edaran Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Nomor: e-0004/SE/2024, tentang Jadwal Pemilihan Anggota Dewan Kota/Kabupaten, hanya merupakan “akal-akalan” untuk meloloskan calon-calon yang sebelumnya gagal. Sebab, surat edaran tersebut tidak dipublikasikan kepada calon yang ada, sehingga menciptakan keraguan di kalangan masyarakat dan peserta seleksi.
“Surat edaran ini harusnya transparan dan publikasi kepada semua calon, tetapi kenapa tidak dilakukan? Ini jelas merugikan kepercayaan publik,” kata Awy, yang mendesak agar Pj Gubernur DKI Jakarta membatalkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 854 Tahun 2024 dan melakukan pemilihan ulang yang lebih jujur dan transparan.
Jika Pemprov DKI Jakarta tidak segera merespon dengan serius, pihak-pihak yang merasa dirugikan, termasuk kuasa hukum Uci Sanusih, berencana untuk menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini menjadi tanda bahwa ketidakpuasan terhadap proses seleksi Dekot ini bukan hanya berasal dari pihak-pihak yang gagal terpilih, tetapi juga dari mereka yang ingin memastikan pemerintahan yang bersih dan adil di Jakarta.*(ren)