Penanggulangan AIDS, Mampukah Pemerintah Indonesia Zero Diskriminasi HIV di Tahun 2030

JAKARTA – Perjalanan Indonesia menuju ‘Ending AIDS 2030’ sesuai dengan komitmen pemerintah dalam penanggulangan HIV, ternyata masih menemukan berbagai tantangan dan hambatan.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI dr. Imran Pambudi, MPH menyampaikan bahwa saat ini kelompok berusia 25-49 tahun memiliki porsi terbesar sebanyak 70,4% dalam temuan kasus HIV.
Angka ini kemudian diikuti oleh kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 15,9% .

Meski demikian, semakin menurunnya angka temuan kasus HIV baru pada beberapa tahun terakhir, menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia mungkin mencapai target.

“Berbagai upaya untuk menyamakan persepsi dan tujuan telah dilakukan termasuk melibatkan peran berbagai sektor pemerintah,” ujar Imran melalui zoom meeting, Rabu (27/3).

Namun lanjut dia, kerap ditemukan pemahaman atau “perspektif miring” yang keliru dari stakeholder di luar area kesehatan tentang HIV. Hal ini disinyalir terjadi karena program penanggulangan HIV selama ini hanya menyasar pada pengguna narkotika, pekerja seks, Lelaki Seks Lelaki, Waria dan kelompok lainnya yang masih dianggap amoral bagi sebagian masyarakat.

Sehingga mengentalkan nuansa stigma dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok sasaran ini dalam program program-program HIV di Indonesia.

Imran menjelaskan, kasus HIV ditemukan pertama kali pada 1960 di Afrika dan diumumkan ke publik di Amerika pada 1981 hingga ditemukan pertama di Indonesia (Bali) pada 1987.

“Penanganan HIV selalu dimunculkan dengan wajah diskriminasi,” katanya.

Hal ini kata dia, sebagai akibat dari cap buruk (stigma) terhadap perilaku yang menimbulkan resiko penularan HIV.

Dalam sebuah survei yang melibatkan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia dari 10 responden yang diwawancarai, 4 diantaranya mengaku masih takut untuk bergaul dengan orang yang hidup dengan HIV karena alasan takut tertular.

“Padahal mereka sudah mendapatkan informasi serta pendidikan terkait penyakit menular,” imbuhnya.

Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Advocacy Specialist Jaringan Indonesia Positif Menurut Timotius Hadi, sejak didirikan pada 2014 hingga saat ini, Jaringan Indonesia Positif (JIP) telah mendapat pelaporan terjadinya bentuk stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang yang hidup dengan HIV di Indonesia.

Menurutnya, beberapa tanggapan telah dilakukan untuk penyelesaian kasus yang ditemukan meliputi, penyediaan kanal pengaduan, layanan konseling, pendampingan kasus bagi korban serta melakukan audiensi kepada stakeholder terkait baik level pemerintah (kementrian atau subdinas) maupun swasta termasuk mitra dari Komnas Perempuan.

“Selama bulan Mei-Oktober 2023, JIP meneliti indeks stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV di Indonesia dengan menggunakan instrumen penelitian global yang disebut dengan Stigma Index 2.0,” ujarnya .

Timotius mengatakan, instrumen penelitian ini dikembangkan oleh beberapa organisasi tingkat global, seperti Global Network People Living with HIV (GNP+), International Community of Women Living with HIV (ICW), UNAIDS dan International Planned Parenthood Federation (IPPF).

Stigma Index telah digunakan secara global guna mendokumentasikan pengalaman yang berbeda di antara orang dengan HIV terkait stigma dan diskriminasi, sampai dengan mendorong perubahan kebijakan di suatu daerah tertentu serta mengubah intervensi program akibat dari stigma atau diskriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV.

“Stigma Index di Indonesia tahun 2022 mengumpulkan informasi yang beragam mengenai pengalaman orang dengan HIV di Indonesia yang menghadapi stigma dan diskriminasi,” katanya.

Stigma Index 2.0 yang dilakukan oleh JIP berhasil menyasar 1400 orang yang hidup dengan HIV di 16 provinsi sebagai responden.

Menurut Fitriana Puspitarani, Research Officer, Divisi Riset, Pengembangan Komunitas dan Media JIP, menyampaikan bahwa beberapa temuan pada penelitian ini antara lain, sebesar 35,9% orang yang hidup dengan HIV menstigma dirinya sendiri, dan 13,4% orang yang hidup dengan HIV mendapatkan stigma dari orang lain.

“Stigma dan diskriminasi juga terjadi di layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan dalam 12 bulan terakhir (21,5%),” katanya.

Fitriana merinci, stigma dan diskriminasi pada orang yang hidup dengan HIV dari kelompok populasi kunci, lebih tinggi dibandingkan kelompok non populasi kunci, (Stigma eksternal pada kelompok populasi kunci sebesar 17,1% dan non populasi kunci sebesar 11,1%.

Kemudian stigma internal pada kelompok populasi kunci sebesar 39,8% dan non populasi kunci sebesar 33,5%, stigma di layanan HIV pada kelompok populasi kunci sebesar 24,7% dan non populasi kunci sebesar 16,4%, stigma di layanan non HIV pada kelompok populasi kunci sebesar 22,9% dan non populasi kunci sebesar 12,1%).

Hasil temuan awal dari penelitian Stigma Index 2.0 Indonesia telah disampaikan kepada stakeholder terkait, khususnya kepada Kementerian Kesehatan RI.

“Hal tersebut dilakukan dengan harapan bahwa temuan-temuan hasil Stigma Index 2.0 bisa digunakan sebagai acuan dan bahan pertimbangan dalam menyusun program penanggulangan HIV yang lebih humanis, termasuk kampanye anti diskriminasi dan memantau berbagai kegiatan penanggulangan HIV di Indonesia”, ujarnya.

Harapannya, Indonesia tak hanya mengembangkan strategi untuk mencapai nol penularan HIV dan nol kematian akibat AIDS, namun juga mencapai nol diskriminasi terhadap mereka yang hidup dengan HIV.*(Aini Fitri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *